NEGARA KIAN TERPURUK SETELAH DITINGGALKAN OLEH GBHN


NEGARA KIAN TERPURUK SETELAH DITINGGALKAN OLEH GBHN
(Mari kita renungkan bersama!)

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu. GBHN ditetapkan oleh MPR untuk jangka waktu 5 tahun. Dengan adanya Amandemen UUD 1945 dimana terjadi perubahan peran MPR dan presiden, GBHN tidak berlaku lagi. Sebagai gantinya, UU no. 25/2004 mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang menyatakan bahwa penjabaran dari tujuan dibentuknya Republik Indonesia seperti dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam bentuk RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang). Skala waktu RPJP adalah 20 tahun, yang kemudian dijabarkan dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), yaitu perencanaan dengan skala waktu 5 tahun, yang memuat visi, misi dan program pembangunan dari presiden terpilih, dengan berpedoman pada RPJP. Di tingkat daerah, Pemda harus menyusun sendiri RPJP dan RPJM Daerah, dengan merujuk kepada RPJP Nasional.
GBHN ini master plan Indonesia untuk 5 (lima tahunan) yang akan dijabarkan oleh presiden selaku penyelenggara pemerintahan, itu dulu! Namun kini, digantilah dengan visi-misi calon presiden dan wakil presiden, program 100 hari, program 5 (lima)tahun.
GBHN adalah program yang disusun oleh wakil-wakil rakyat ditambah utusan daerah, utusan golongan, dan tidak lupa waktu itu ABRI. Bila kita menganut sampling proporsional memang menjadi tidak proporsional, tapi bila kita menganut sampling area ini akan terjangkau, dan bila menganut multitage sampling, yah cukuplah mewakili seluruh rakyat Indonesia! Jadi andai wakil rakyat ditambah kaum terpilih cerdik pandai, arif bijaksana, mengerti kebutuhan daerah, mengerti kebutuhan institusi-institusi atau golongan-golongan tertentu, maka komposisi tersebut bila menyusun program untuk membangun wilayah Indonesia yang begitu majemuk disegala aspek dan segment masyarakat, maka penyusunan yang sistemik akan menghasilkan program yang sistemik pula.
GBHN yang tersepakati merupakan parameter acuan pokok pelaksana, sehingga manakala terjadi penyimpangan akan mudah dalam pengontrolannya. GBHN juga dapat diturunkan eh didiskresikan oleh lembaga atau penyelenggara pemerintahan di bawahnya. Dan ini semakin membuat pemerintah di segala tingkatan memiliki tolok ukur yang pasti dan tersepakati oleh rakyat Indonesia pemiliki kedaulatan yang tak terbantah.
GBHN atau disekresi GBHN di segala tingkatan, dari tujuan pembangunan Nasional turun menjadi tujuan pendidikan nasional (untuk kementerian pendidikan) atau tujuan pertahanan (tentunya untuk kementerian pertahanan). Begitu selanjuutnya sampai pada tingkatan yang terendah. Bila GBHN merupakan kerangka system, maka berbagai diskresi kelembagaan atau tingkatan di bawahnya menjadi sub system dan berbagai elaborasinya akan menjadi sub-sub system atau komponen-komponen yang menjadikan kerangka kinerja yang sangat luar biasa. Ini bukan terbawa oleh semangat keseragaman atau menyeragamkan, namun lebih kepada bagaimana menyusun program kerja yang sistemik dengan alur kinerja sistem managemen yang tertata dan konseptual dengan berbagai pertimbangan matang.
Apakah sebuah kesadaran atau ketidaksadaran yang menjadikan GBHN tinggal sebuah kenangan yang dirindukan oleh segenap manusia yang dalam mengembangkan segala sesuatu berlandaskan pada system kerja atau kinerja system. Bila kita kaitkan dengan suatu operation system, maka GBHN merupakan poros yang menggerakkan berbagai pangkal kuasa dan mendinamisasi perkembangan dalam sebuah kinerja system yang terukur!
Visi misi disusun oleh perorangan (meskipun mereka memiliki suatu team work), namun jika diperbandingkan dengan kuantifikasi perwakilan, maka ia hanya mewakili secara strata kompetisi berjenjang. Coba lihat! Pemenang pada tahap I, misal dari empat calon terdistribusi 16%, 16%, 40%, 9% sisanya abstain. Pada tahap II, 75% sah 25 % tidak sah. Dari 75% persen sah A mendapat 65% dan B 35%. Coba hitung berapa sebenarnya pemenang itu mewakili kedaulatan rakyat yang sesunggunya?
Perbaikan harus dilakukan secara sistemik dan pemikiran ini adalah sebuah wacana yang perlu perenungan mendalam dengan berbagai pertimbangan. Berikut tengok dalam konten lebih kecil!
Pada tingkat propinsi dan kabupaten/kota, juga terjadi hal yang sama! Pemenang bukanlah representasi murni dari sebagian besar masyarakat! Semakin banyak calon, maka semakin besar pula peran pereduksian kehendak rakyat! Apalagi dalam penyusunannya pun tidak melalui permusyawaratan/perwakilan, maka ini hanyalah tata cara pandang perseorangan yang tersetujui dan bukan kehendak khalayak!
Itulah sebabnya berbagai gejolak sering muncul seiring perkembangan kapasitas masyarakat dalam menyikapi berbagai dinamika perkembangan pelaksanaan tata pemerintahan dan pembangunan!
Apakah visi-misi calon gubernur, bupati/walikota sejalan dengan visi-misi presiden? Tentu jawabannya beragam? Ada yang sejalan, manakala satu garis partai dan tidak bila tidak separtai, belum lagi kalau koalisi, maka visi-misi akan berubah dalam tempo yang sangat pendek (hanya dalam hitungan hari). Kandidat calon bupati, walikota, gubernur, presiden, pada tahap awal (missal 3-4 calon), pada tahap awal kompetisi terpilih 2 (dua) kandidat, maka kandidat akan berupaya berkoalisi dengan calon yang gagal pada babak I. Dan apa yang terjadi, mereka merubah visi-misi untuk mengakomodasi kepentingan mitra koalisi baru dan dibawalah visi-misi yang baru berumur beberapa hari itu ditawarkan kepada masyarakat kembali (setelah ada revisi hasil koalisi baru)!
Bagaimana mungkin membangun sebuah pemerintahan hanya dipersiapkan dalam beberapa hari untuk membangun lima tahun ke depan!